Tanah Toraja atau yang biasa disebut Toraja menyimpan kisah tersendiri untuk aku dan kekasih halal ku. Tak apalah menyebutnya begitu, toh kami sudah menjadi suami dan istri. Kami menikah tanpa melalui proses pacaran dan kami tidak melakukan pose pra Wedding seperti yang booming di masyarakat saat ini. Kami menikah dengan tradisi bugis Bone. Yah, kebetulan aku berasal dari suku bugis Bone dan suami ku berasal dari Palopo.
Setelah menyelesaikan prosesi adat bugis, kami kemudian harus kerumah mertua yang waktu itu acara marola dan mammetua (mengunjungi mertua) karena jarak rumah kami sangat berjauhan, makanya kedua prosesi ini kami gabung menjadi satu rangkaian acara.
Sesampainya di kampung halaman suami yaitu di Palopo yang kebetulan tinggal di kota, kami disambut oleh keluarga pihak suami dan kami pun mengikuti acara syukuran tanpa prosesi adat. Hanya syukuran sederhana dengan tamu undangan beberapa kerabat dekat, para tetangga dan beberapa teman suami yang ikut meramaikan acara. Sebuah nasehat dari orang tua waktu itu agar kami segera melakukan ritual marola dan memmetua karena katanya, kami belum sah secara adat menjadi suami istri jika belum melakukan ritual tersebut. Yah alhasil, setelah acara syukur selesai, keluarga yang mengantarkan aku ke kampung suami harus meninggalkan aku sendiri. Rasanya begitu sedih, maklumat lah, aku belum pernah bertemu dengan salah satu pun anggota keluarga suami ku. Beberapa tetes air mata sempat menjadi simbolis perpisahan kami. Agak lebay sih, tapi itulah yang terjadi. Belakangan aku ketahui bahwa jika orang Palopo menikah dengan orang dari luar daerahnya maka cukup 1 adat yang dijalankan. Mereka tidak ingin menggabungkan dua prosesi adat dalam perkawinan. Itu lah sebabnya pihak keluarga suami hanya membuat acara syukuran.
Selain itu, beberapa adab yang harus aku jalani di rumah mertua yaitu ketika acara syukuran berlangsung, aku tidak boleh makan dan minum sedikit pun dari hidangan yang disajikan dirumah itu. Spontan saya kaget mendengar pernyataan ini. Bayangkan kalau harus menahan lapar dan haus di dalam pesta. Gak banget kan? Tapi itulah yang terjadi. Untung ada syarat yang harus aku lakukan jika tidak ingin menahan lapar dan haus yaitu aku harus makan dari makanan yang diambil lansung dari suami, atau makan berdua. Romantis sih, tapi miris.
Nah, selain itu, adab yang kedua yaitu sebelum acara pihak suami selesai kami tidak diperbolehkah melakukan hubungan suami istri. Katanya, jika kami melanggar maka akan berdampak kepada anak kami nanti. Tapi aku lupa apa dampaknya dan rasanya malas juga untuk menanyakan lagi tentang itu.
Adab yang terakhir yaitu, aku hanya bisa menginap di rumah mertua selama 3 malam, jika pada malam berikutnya kami belum bisa balik ke Bone, maka kami harus berusaha agar kami menginap ditempat lain.
Ha, begitulah ritual yang harus kami jalani, sarat akan mitos, tapi untuk menghargai nasehat orang tua dan yang dituakan dalam keluarga kami harus mengikutinya.
Jadi, pada hari ketiga kami memutuskan untuk menginap dirumah kerabat suami di Toraja sekalian untuk berwisata dimana di Toraja kaya akan tempat wisata. Sekalian melakukan foto pasca Wedding. Hahaha, kami mengabadikan moment pasca Wedding di tempat wisata yang terkenal di Toraja. Karena terbatas waktu, kami hanya mengunjungi daerah Kete kesu dan (waaah, lupa nama daerahnya😄)
Untuk saat ini, kami sibuk dengan urusan masing-masing. Aku fokus dalam menyelesaikan studi magister sementara suami fokus dengan kerjanya di Palopo. Terus merindukan moment berwisata berdua, menikmati keromantisan yang baru kami dapatkan setelah menikah. Dan menikmati indahnya bersabar dalam menahan rindu karena ada nikmat disetiap kesabaran.
Komentar