Sungguh, ujian itu tak mengenal batasan waktu dan umur. Entah, apakah itu karena ujian atau karena karma atau hukuman. Beberapa bulan mendampingi suami di rumah sakit untuk melakukan Hemodialisis bukan lagi karakter orang yang menjadi fokus perhatian seperti pada kondisi interaksi sosial secara umum, melainkan karakter yang berhubungan dengan penyakit yang menjadi pelengkap penderitaan.
KEMARIN , tepatnya pada hari senin, 19 Desember 2016, saat suami menjalani perawatan rutin untuk melakukan Hemodialisis yang dilakukan selama 4 jam, sebuah peristiwa yang sempat mengguncang jiwa kami. Pasien yang kebetulan berada pas disamping tempat tidur suami meninggal dunia. Kami menyaksikan saat-saat sakaratul maut. Ketika layar monitor menunjukan penurunan kondisi pasien menunjukkan angka sekitar 63/37, yang mendampingi pasien lansung memanggil perawat yang selalu setia memberikan pelayanan terbaik untuk pasien lansung mengambil tindakan. Dokter yang bertugas juga tidak kalah cekatan. Tanpa menunggu aba -aba semua lansung melakukan penanganan sesuai bidang masing-masing. Sementara beberapa perawat dan dokter melakukan tindakan darurat, perawat lain memasang tirai disamping tempat tidur pasien yang sekarat itu supaya pasien lain tidak terganggu dan juga tidak panik. Berbeda dengan posisi kami, kami berada paling pojok ruangan, dan untuk kelancaran mobilitas petugas medis dan peralatannya maka disamping kami tidak dipasang tirai dan kami memaklumi kejadian tersebut. 1 jam telah berlalu, 2 orang dokter yang melakukan RJP (resusitasi jantung paru) angkat tangan. Diperkuat dengan penanganan yang telah dilakukan selama 1 jam mulai dari penanganan fisik sampai pemberian obat-obatan namun kondisi pasien tetap menurun. Dokter anastesi yang ikut menyaksikan kejadian tersebut juga sudah memberi isyarat bahwa pasien sudah tidak bisa ditolong. Keluarnya pun berdatangan dan menumpahkan tangis histeris diruangan yang berjumlah 12 pasien yang masing-masing disampingnya berdiri alat hemodialisis dan suami menyaksikan hal itu ikut bersedih. Kurang dari 5 menit proses hemodialisis suami telah selesai. Suami menyampaikan keluhannya kepadaku. Ia mengatakan kalau lututnya bergetar "alangkah kuat kekuatan malaikat maut yang sampai menggetarkan lututku" tambahnya.
Sampainya di rumah dan membaringkan suami, aku melihat wajahnya yang pucat. Spontan aku merasa panik. Usut per usut ternyata dia masih mengalami shock. Wajahnya pucat, tubuhnya bergetar dan jantungnya berdetak kencang. Aku menertawakan sambil menghibur nya barulah Kondisi nya beransur membaik.
LUSA kemudian, suami kembali melakukan hemodialisis yang rutin dilakukan selama 3x1 dalam seminggu. Waktu kami datang, kami lansung mencari tempat tidur yang masih kosong. Kebetulan kami memilih tempat tidur yang disamping tidak memiliki ranjang. 1 jam berlalu, beberapa orang datang mengantarkan tempat tidur yang diisi oleh seorang anak yang Kira - kira berumur 13 tahun. Mulut terpasang dengan alat bantuan pernapasan sedang tubuhnya yang kurus terpasang kabel-kabel yang disambung kan ke layar monitor sepertinya itu untuk mengetahui detak jantungnya. Kakinya jg terpasang alat yang entah apa kegunaannya. Aku dan suami saling memberi isyarat karena khawatir peristiwa kemarin berulang kembali. "Insya Allah tidak apa", kata suami ku menghibur.
Ini baru satu ruangan, tepatnya di ruang hemodialisis. Keluhan pasien disini bukan hanya masalah ginjal namun beberapa komplikasi seperti jantung, diabetes, paru -paru, dll mulai dari umur sekitar 13 tahun sampai umur sekitar 60 tahun.
Sungguh Tuhan maha kuasa atas semua ini.
Semoga semua termasuk kami diberi kekuatan untuk bersabar.
Dimana ada sakit, disitu ada cinta.
Komentar