Langsung ke konten utama

Isak Tangis Raina


Ketika jemari kini kembali kaku, ketika ide kian membeku, hamparan pasir putih beterbangan entah kemana arahnya. Angin sepoi-sepoi menerbangkan pesan alunan syair membawanya sampai kelamunan. Gemercik ombak, kicauan burung dan terjangan pasir putih yang ditiup lembut oleh sang angin tiba-tiba menghentikan lamunan. Sungguh pemandangan yang mengejutkan, seekor burung tiba-tiba terjatuh. Alangkah malangnya nasib burung cantik itu. Ketika asyik beterbangan dengan kawan-kawannya tanpa sengaja menabrak tiang listrik yang menjulang tinggi mencakar langit. Wahai kau sang burung, alangkah malangnya dirimu. Izinkan aku untuk mengobati lukamu dan merawatmu hingga kamu siap kembali diperaduan langit dengan teman, saudara dan keluargamu. Sadarkan engkau wahai burung, alangkah irinya diriku melihatmu beterbangan kesana kemari, beterbangan kearah mana yang hendak kamu mau, menjelajahi jagad raya yang begitu memesona.
            Sang gadis manis periang, hidupnya betul-betul bahagia dan menakjubkan. Usianya masih begitu muda, berbaju yang begitu mewah, beralaskan kaki yang begitu unik yang tiada nampak kesamaan dari kedua alas kakinya. Kulitnya yang putih bersih, makan ditempat yang mewah. Beberapa orang memandanginya dengan senyum yang menyimpan  sejuta makna. Sang gadis manis ini hanya bisa membalas senyuman orang yang lalu lalang dengan sejuta makna yang tersembunyi pula. Rumahnya begitu mewah, dan memiliki banyak teman.
            Rintihan kesakitan burung tiba-tiba memecah lamunan yang begitu memberi kebahagiaan dan kemewahan bagi Raina. Tiba-tiba semuanya berlalu begitu cepat. Hanya dalam waktu beberapa detik, semuanya bagai ulah sang nenek sihir yang jahat, semuanya berubah seketika. Raina tampak larut dalam kesedihannya. Matanya yang tadinya memancarkan aura kebahagiaan kini berkaca-kaca menyaksikan kehidupannya yang sebenarnya. Hanya  sang burung yang terluka yang menjadi temannya untuk saat ini. Itupun sang burung yang malang kelak akan meninggalkannya sama halnya dengan semua keluarganya. Raina begitu larut dalam kesedihan.
            Andai sang burung bisa berbicara dan berubah menjadi manusia. Dia akan mengusap setiap air mata Raina yang berlinang membasahi pipinya. Dia akan menjadi malaikat pelindung bagi Raina yang begitu malang. Tanpa Raina sadari, sang burung meneteskan air mata.
            Waktu telah memasuki siang hari, Raina merasa lapar dan haus. Tiada yang bisa dimakan, tidak ada yang bisa diminum. “Wahai burung yang manis, engkau juga pasti sedang lapar”. Sambil memegangi perut kecilnya itu, Raina melangkah keluar dari gubuk lusuh yang telah setia melindunginya dan memberi kehangatan dimalam hari. Langit seakan besedih melihat kehidupan anak kecil ini.  Sambil melangkah dengan loyo, Raina terus mencari-cari sesuatu yang bisa menjanggal rasa sakit perutnya. Raina yang sedang sakit itu, terus berjuang melangkah melewati waktu yang tiada batasnya.
            Karena tubuh yang semakin lemah, ditambah lagi oleh rasa lapar dan haus yang menimpannya, tiba-tiba Raina terjatuh dan melepaskan burung dalam genggamannya. Raina pun terjatuh dan tak sadarkan diri. Tiada yang peduli dengan hidupnya. Ia bagaikan binatang jalan yang begitu bernajis jika disentuh. Tiada yang menolong, tiada yang menghiraukannya. Seakan ia  hidup sendiri merana dalam dunianya. Hanya sang burung yang seakan menangis meratapi nasib tuannya. “Alangkah malamnya nasibmu nak”,
            Orang-orang yang hidupnya megah, menghamburkan uang kesana kemari, membuang makanannya tanpa memikirkan orang-orang seperti Raina. Tidakkah ia tau bahwa sosok gadis kecil, lugu dan lemah ini sangat membutuhkan pertolongan. Kehidupan yang begitu kejam dan tragis harus menimpa sang anak malang ini.
 Seseorang dari arah jalan bermobil mewah tiba-tiba melambat dan membuka sedikit kaca mobil, ternyata melemparkan kantong kecil dan berisi sesuatu.
            Sang burung pun terus mematuk-matuk lengan Raina seakan membangunkannya dari tidur panjang. Lambat laun Raina tersadarkan dan melihat sosok kantong hitam itu, Raina berusaha mengambil kantongan itu dan hendak membuangnya lagi ketempat sampah. Sepertinya orang yang melempar kantong itu hendak melemparnya ketempat sampah namun tak sampai. Perlahan, Raina membuka kantongan, tiba-tiba raut muka sedihnya berubah menjadi sosok yang penuh kebahagiaan. Kantongan itu berisi sepotong roti dan botol air minum yang bersisakan beberapa teguk air. Dengan tersenyum bahagia, Raina membagi dua potongan roti itu dan membaginya dengan kawan  barunya yang terluka parah sambil berkata “Wahai kawan baruku, maafkan aku, aku hanya bisa memberimu makanan ini”.
            Sang burung pun mematok-matok roti yang diberikan oleh Raina. Kemudian berkicau dengan merdu. Raina pun tertawa mendengar kicauannya yang seakan mengucap terima kasih. Langit tak buta, setelah meyaksikan kejadian yang beberapa kali terjadi, alam pun menangis meratapi nasib sang Raina. Seakan alam ingin memeluk dan memanjakan Raina. Dia hanya anak kecil yang lugu, tak tau arti kemewahan dan kesejahteraan. Beberapa kali dia harus berpindah tempat mencari perlindungan akibat penggusuran. Dengan sedikit tenaga dari sepotong roti, Raina pun melangkah pergi berjalan menuju gubuk tuanya. Namun sesuatu telah terjadi. Semuanya diluar akal  Raina sang gadis kecil lugu dan malang.
            Raina hanya bisa memandangi gubuk tuanya dihancurkan oleh beberapa oknum yang tidak berhati nurani. Tak ada lagi penderitaan yang melebihi penderitaan ini, melihat rumahnya yang telah rata oleh tanah, Rainan meneteskan air matanya yang terakhir kalinya. Alam begitu mencintainya. Alampun menangis mengiringi tangisan dan ratapannya. Tak ada niat sedikit pun untuk beranjak dari reruntuhan-reruntuhan itu. Tiada lagi peninggalan orang-orang yang menyayanginya. Tiada lagi sesuatu yang bisa dikenang. Suatu gubuk yang dulunya dibangun dengan susah payah bersama kedua orang tuanya dan adik kini telah tiada.
Angin kencang dan hujan deras tiba-tiba menghantam. Air sungai meluap dan menyebabkan banjir. Bunyi petir pun seakan murka dan menumbangkan sebuah pohon  besar. Teriakan panjang dari sang Raina mengawali mala petaka didaerah itu.
            Tiada lagi suara isak tangis, tiada lagi gemuruh petir, tiada lagi luapan sungai yang menyebabkan banjir bandang. Hanya reruntuhan bangunan-bangunan yang tersisasa. Rainapun telah terseret oleh air mengantarkannya ke kehidupan yang lebih indah yang penuh kebahagiaan. Tiada lagi isak tangis, tiada lagi rasa lapar, tiada lagi rasa sakit yang dirasakan, kini Raina telah menyatu dengan alam yang sangat ia cintai dan mencintainya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refreshing bisa dilakukan dimanapun

Dibalik kesibukan pastilah ada rasa bosan atau suntuk. Jika dibiarkan pastilah dampaknya tidak bagus untuk psikologi yang akan menimbulkan berbagai macam penyakit fisik. Akhir pekan lalu, my sista menelpon dan mengajak untuk jalan-jalan sambil refreshing, katanya lagi suntuk dan butuh penyegaran. yah, nda usah jauh-jauh dibawahnya, cukup saya ajak keliling kampus. Pihak kampus telah menyediakan sarana refreshing yang bisa dinikmati oleh semua mahasiswa dengan free. Bahkan sekarang, bukan hanya anak mahasiswa saja yang menikmati liburannya di kampus, tapi terkadang juga saya lihat beberapa rombongan keluarga yang datang bertamasya dipinggir danau dibawah pohon. Emang lah, kampus Universitas Patut Dibanggakan. Udara yang disuguhkan begitu segar ditambah lagi dengan pemandangannya yang serba hijau. Danau yang indah memantulkan warna hijau dan putih pepohonan dan awan. Dipinggir danau banyak ditanami bunga-bunga yang sangat indah. setiap sore, banyak jenis aktifitas yang dilakukan

Perjalanan Part 2

Sungguh,  ujian itu tak mengenal batasan  waktu dan umur. Entah, apakah itu karena ujian atau karena karma atau hukuman. Beberapa bulan mendampingi suami di rumah sakit untuk melakukan Hemodialisis bukan lagi karakter orang yang menjadi fokus perhatian seperti pada kondisi interaksi sosial secara umum, melainkan karakter yang berhubungan dengan penyakit yang menjadi pelengkap penderitaan. KEMARIN , tepatnya pada hari senin, 19 Desember  2016, saat suami menjalani perawatan rutin untuk melakukan Hemodialisis yang dilakukan selama 4 jam, sebuah peristiwa yang sempat mengguncang jiwa kami. Pasien yang kebetulan berada pas disamping tempat tidur suami meninggal dunia. Kami menyaksikan saat-saat sakaratul maut. Ketika layar monitor menunjukan penurunan kondisi pasien menunjukkan angka sekitar 63/37, yang mendampingi pasien lansung memanggil perawat yang selalu setia memberikan pelayanan terbaik untuk pasien lansung mengambil tindakan. Dokter yang bertugas juga tidak kalah cekatan. Tanpa

Bubur Buatan Adik

Akhir - akhir ini tubuh ku menunjukkan reaksi yang aneh. Beberapa hari ini aku tidak pernah merasa lapar,  namum tiba-tiba gemetaran yang katanya diakibatkan oleh produksi insulin dalam tubuh sedang rendah.  Setelah baca artikel, aku menarik kesimpulan bahwa inilah lapar yang sesungguhnya. Hahaha,  ternyata selama ini aku lebih sering berada dalam kondisi abnormal. Pas ngalamin  yang normal malah dianggap aneh, ....😁😁😁 Nah, ceritanya pagi ini kan tubuh aku lagi gemetaran.  rasanya nda kuat tuk masak. Untung si adik lagi kesambet rajin akhirnya bersedia untuk masak tanpa harus berdebat lama. Aku online sambil  menunggu si adik memasak. Penasaran karena lama nda keluar-keluar dari dapur akhirnya aku mencoba melihat sedang masak apa sih. Ternyata dia sedang masak bubur. Sambil menunggu berasnya jadi lembek/menjadi bubur,  dia ternyata sedang asyik menyiapkan bahan sayur nya. Hum,.... terasa Lama. Selang 10 menit kemudian,  makanan pun jadi. Kami menyantapnya dengan lahap. Alhamdulil