Ketika
jemari kini kembali kaku, ketika ide kian membeku, hamparan pasir putih beterbangan entah kemana arahnya. Angin
sepoi-sepoi menerbangkan pesan alunan syair membawanya sampai kelamunan.
Gemercik ombak, kicauan burung dan terjangan pasir putih yang ditiup lembut
oleh sang angin tiba-tiba
menghentikan lamunan. Sungguh
pemandangan yang mengejutkan, seekor burung tiba-tiba terjatuh. Alangkah
malangnya nasib burung cantik itu.
Ketika asyik beterbangan dengan kawan-kawannya tanpa sengaja menabrak tiang
listrik yang menjulang tinggi mencakar langit. Wahai kau sang burung, alangkah malangnya dirimu.
Izinkan aku untuk mengobati lukamu dan merawatmu hingga kamu siap kembali
diperaduan langit dengan teman, saudara dan keluargamu. Sadarkan engkau wahai
burung, alangkah irinya diriku melihatmu beterbangan kesana kemari, beterbangan
kearah mana yang hendak kamu mau, menjelajahi jagad raya yang begitu memesona.
Sang gadis manis periang, hidupnya betul-betul bahagia dan
menakjubkan. Usianya masih begitu muda, berbaju yang begitu mewah, beralaskan
kaki yang begitu unik yang tiada nampak kesamaan dari kedua alas kakinya. Kulitnya
yang putih bersih, makan ditempat yang mewah. Beberapa orang memandanginya
dengan senyum yang menyimpan sejuta
makna. Sang gadis manis ini hanya bisa membalas senyuman orang yang lalu lalang
dengan sejuta makna yang tersembunyi pula. Rumahnya begitu mewah, dan memiliki
banyak teman.
Rintihan kesakitan burung tiba-tiba
memecah lamunan yang begitu memberi kebahagiaan dan kemewahan bagi Raina.
Tiba-tiba semuanya berlalu begitu cepat. Hanya dalam waktu beberapa detik,
semuanya bagai ulah sang nenek sihir yang jahat, semuanya berubah seketika. Raina
tampak larut dalam kesedihannya. Matanya yang tadinya memancarkan aura
kebahagiaan kini berkaca-kaca menyaksikan kehidupannya yang sebenarnya.
Hanya sang burung yang terluka yang
menjadi temannya untuk saat ini. Itupun sang burung yang malang kelak akan
meninggalkannya sama halnya dengan semua keluarganya. Raina begitu larut dalam
kesedihan.
Andai sang burung bisa berbicara dan
berubah menjadi manusia. Dia akan mengusap setiap air mata Raina yang berlinang
membasahi pipinya. Dia akan menjadi malaikat pelindung bagi Raina yang begitu
malang. Tanpa Raina sadari, sang burung meneteskan air mata.
Waktu telah memasuki siang hari,
Raina merasa lapar dan haus. Tiada yang bisa dimakan, tidak ada yang bisa
diminum. “Wahai burung yang manis, engkau juga pasti sedang lapar”. Sambil
memegangi perut kecilnya itu, Raina melangkah keluar dari gubuk lusuh yang
telah setia melindunginya dan memberi kehangatan dimalam hari. Langit seakan
besedih melihat kehidupan anak kecil ini.
Sambil melangkah dengan loyo, Raina terus mencari-cari sesuatu yang bisa
menjanggal rasa sakit perutnya. Raina yang sedang sakit itu, terus berjuang
melangkah melewati waktu yang tiada batasnya.
Karena tubuh yang semakin lemah,
ditambah lagi oleh rasa lapar dan haus yang menimpannya, tiba-tiba Raina
terjatuh dan melepaskan burung dalam genggamannya. Raina pun terjatuh dan tak
sadarkan diri. Tiada yang peduli dengan hidupnya. Ia bagaikan binatang jalan yang begitu
bernajis jika disentuh. Tiada yang menolong, tiada yang menghiraukannya. Seakan
ia hidup sendiri merana dalam dunianya.
Hanya sang burung yang seakan menangis meratapi nasib tuannya. “Alangkah
malamnya nasibmu nak”,
Orang-orang yang hidupnya megah,
menghamburkan uang kesana kemari, membuang makanannya tanpa memikirkan
orang-orang seperti Raina. Tidakkah ia tau bahwa sosok gadis kecil, lugu dan
lemah ini sangat membutuhkan pertolongan. Kehidupan yang begitu kejam dan
tragis harus menimpa sang anak malang ini.
Seseorang
dari arah jalan bermobil mewah tiba-tiba melambat dan membuka sedikit kaca
mobil, ternyata melemparkan kantong kecil dan berisi sesuatu.
Sang burung pun terus mematuk-matuk
lengan Raina seakan membangunkannya dari tidur panjang. Lambat laun Raina
tersadarkan dan melihat sosok kantong hitam itu, Raina berusaha mengambil
kantongan itu dan hendak membuangnya lagi ketempat sampah. Sepertinya orang
yang melempar kantong itu hendak melemparnya ketempat sampah namun tak sampai.
Perlahan, Raina membuka kantongan, tiba-tiba raut muka sedihnya berubah menjadi
sosok yang penuh kebahagiaan. Kantongan itu berisi sepotong roti dan botol air
minum yang bersisakan beberapa teguk air. Dengan tersenyum bahagia, Raina
membagi dua potongan roti itu dan membaginya dengan kawan barunya yang terluka parah sambil berkata
“Wahai kawan baruku, maafkan aku, aku hanya bisa memberimu makanan ini”.
Sang burung pun mematok-matok roti
yang diberikan oleh Raina. Kemudian berkicau dengan merdu. Raina pun tertawa
mendengar kicauannya yang seakan mengucap terima kasih. Langit tak buta,
setelah meyaksikan kejadian yang beberapa kali terjadi, alam pun menangis
meratapi nasib sang Raina. Seakan alam ingin memeluk dan memanjakan Raina. Dia
hanya anak kecil yang lugu, tak tau arti kemewahan dan kesejahteraan. Beberapa
kali dia harus berpindah tempat mencari perlindungan akibat penggusuran. Dengan
sedikit tenaga dari sepotong roti, Raina pun melangkah pergi berjalan menuju
gubuk tuanya. Namun sesuatu telah terjadi. Semuanya diluar akal Raina sang gadis kecil lugu dan malang.
Raina hanya bisa memandangi gubuk
tuanya dihancurkan oleh beberapa oknum yang tidak berhati nurani. Tak ada lagi
penderitaan yang melebihi penderitaan ini, melihat rumahnya yang telah rata
oleh tanah, Rainan meneteskan air matanya yang terakhir kalinya. Alam begitu
mencintainya. Alampun menangis mengiringi tangisan dan ratapannya. Tak ada niat
sedikit pun untuk beranjak dari reruntuhan-reruntuhan itu. Tiada lagi
peninggalan orang-orang yang menyayanginya. Tiada lagi sesuatu yang bisa
dikenang. Suatu gubuk yang dulunya dibangun dengan susah payah bersama kedua
orang tuanya dan adik kini telah tiada.
Angin
kencang dan hujan deras tiba-tiba menghantam. Air sungai meluap dan menyebabkan
banjir. Bunyi petir pun seakan murka dan menumbangkan sebuah pohon besar. Teriakan panjang dari sang Raina
mengawali mala petaka didaerah itu.
Tiada lagi suara isak tangis, tiada lagi gemuruh petir,
tiada lagi luapan sungai yang menyebabkan banjir bandang. Hanya reruntuhan
bangunan-bangunan yang tersisasa. Rainapun telah terseret oleh air
mengantarkannya ke kehidupan yang lebih indah yang penuh kebahagiaan. Tiada
lagi isak tangis, tiada lagi rasa lapar, tiada lagi rasa sakit yang dirasakan,
kini Raina telah menyatu dengan alam yang sangat ia cintai dan mencintainya
Komentar